Minggu, 08 Februari 2009

Menciptakan Demokrasi Tanpa Tumbal


oleh:Hendrianto
Terkadang kita merasa Bosan daan jengkel setiap menyaksikan berita di media cetak dan elektronik yang mengabarkan kericuhan dan perusakan fasilitas umum, berita seperti ini hampir setiap hari terjadi dan di tayangkan, kita merasa prihatin setiap kali menyaksikan tindak kekerasan (anarkisme) yang terjadi di antara saudara-saudara kita sebangsa dan senegara. Kekerasan yang seringkali muncul akhir-akhir ini terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada), contohnya saja Pilkada Jatim baru baru ini, bahkan Pilkada Jatim ini merupakan Pilkada paling boros dan membingungkan serta menjadi catatan kritis atas pelaksanaan Pilkada di tanah air
Dimana keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) untuk membatalkan keputusan KPU No 30/2008 pada 11 November 2008 dengan mengulang pemungutan suara di dua daerah Bangkalan dan Sampang serta melakukan penghitungan ulang di kabupaten Pamekasan.
Meski ini baru keputusan pertama dalam sejarah MK, keputusan pengulangan pilkada menajdi terbosan hukum baru dalam pelaksanaan pilkada. Padahal, bila merujuk UU No 12/2008 tentang Pemda, pilkada ulang dapat dilakukan jika terjadi force major yang berupa bencana alam dan kerusuhan. Di pilkada Jatim, dua hal tersebut terjadi.
Mempertanyakan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Panitia Pengawasan (Panwas) harus disematkan pada dua institusi resmi penyelenggara dan pengawas pilkada di Indonesia, tak terkecuali di wilayah Jawa Timur. Terbukti dalam pilkada Jatim, baik KPU Provinsi Jatim maupun Panwas tidak maksimal menjalankan tugas konstitusionalnya. Selain masalah Pilkada yang membuat ricuh.
Kita menyadari bahwa para hakim dan juga anggota KPU adalah manusia biasa. Mereka bisa salah dan bisa benar. Mereka memiliki kelebihan dan juga banyak kekurangan. Hanya karena posisi dan kedudukannya, mereka mempunyai ‘hak prerogatif’ yang tidak dimiliki orang lain. Hak prerogatif ini semakin penting dan juga sensitif karena menyangkut kepentingan orang lain, kepentingan orang banyak.
Kesalahan keputusan, baik sedikit dan apalagi banyak, akibatnya bisa sangat fatal. Kesalahan itu bisa disengaja dan bisa tidak disengaja. Disengaja apabila keputusan mereka membawa kepentingan diri sendiri dan kelompok. Sedangkan keputusan yang salah namun tak disengaja bisa karena salah menafsirkan hukum dan bukti-bukti yang menguatkannya.
Apa pun, ketetapan Anda sekalian para pengambil keputusan hakim, anggota KPU dan pejabat publik lainnya harus dipertanggungjawabkan. Anda bertanggungjawab kepada masyarakat dan Tuhan Sang Maha Pembalas lagi Maha Kuasa. Kesalahan Anda dalam memutuskan, apalagi yang disengaja, akan dituntut dunia akhirat. Jangan sampai keputusan Anda akan membawa penyesalan seumur hidup.
Di sisi lain, masyarakat juga tidak perlu berbuat anarkis manakala mendapatkan fakta yang tidak memihak kepada mereka. Fakta yang dianggap tidak adil dan merugikan kepentingan mereka. Bahwa keadilan dan kepentingan harus diusahakan dan diperjuangkan kita sangat sepakat dan bahkan mendukungnya. Namun, perjuangan itu tidak perlu dilakukan dengan kekerasan. Perjuangan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, apalagi untuk sebuah tujuan yang baik pula.
Kekerasan yang terjadi seringkali melibatkan sekelompok masyarakat melawan kelompok masyarakat lainnya. Atau sekelompok masyarakat melawan aparat keamanan. Boleh jadi anggota masyarakat atau aparat keamanan yang terlibat bentrok itu adalah tetangga kita. Boleh jadi mereka saudara dan teman-teman kita. Minimal mereka adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah-air. Adakah kita rela menyakiti, apalagi menyebabkan kematian pada saudara-saudara kita sendiri?
Sebagai contoh sebuah demokrasi yang buruk terjadi baru baru ini terjadi di Medan dimana Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut), Abdul Aziz Angkat tewas setelah dikeroyok demonstran. Peristiwa itu terjadi seusai Sidang Paripurna DPRD Sumut. Massa kecewa karena tuntutan agar pemekaran Provinsi Tapanuli diputuskan dalam sidang paripurna tidak ditanggapi pimpinan Dewan.
Melihat fenomena seperti ini marilah kita menelaah lebih jauh lagi kedepan, Apakah demontrasi ini harus di iringi dengan anrkis ? tentu tidak, karna perbuataan Anarkis ini sudah pasti akan menimbulkan korban baik harta benda maupun nyawa. Untuk itu, marilah kita hindari cara-cara kekerasan, demokrasi yang benar itu adalah tercapainya sebuah tujuan yang menguntungkan orang banyak tanpa ada tumbal. Masalah Demokrasi yang dilakukan dengan anarkisme di medan, bukan hanya Ketua DPRD Sumut saja yang jadi korban tetapi juga Kapolda Sumut dan Kapoltabes Medan harus melepaskan jabatan nya dan segera hengkang dari tanah asal Naga Bonar ini.
Satu hal lagi yang paling rentan menyulut emosi masyarakat Indonesia, yaitu menyangkut masalah agama, sering kita lihat di layar televise di beberapa daerah terjadi ricuh hanya menyangkut perbedaan kepercayaan, termasuk kepada kelompok masyarakat yang kita anggap melakukan ajaran sesat atau tidak mengikuti ajaran suatu agama yang benar. Contoh nya tindak anarkisme yang terjadi pada jamaah Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.
Bahwa aliran sesat dan ajaran yang tidak sesuai dengan Islam yang benar harus dilarang tentu sudah tegas aturannya, termasuk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kita juga sepakat bahwa aliran sesat dan kelompok menyimpang itu harus diluruskan. Namun, cara meluruskannya tidak boleh dengan anarkisme.
Bukankah setiap umat beragama, terutama umat Islam diajarkan untuk menyebarkan kedamaian? Bukankah setiap kali shalat kita mengakhirinya dengan doa dan meminta kedamaian.? Justru itu poenulis mengajak saudara saudara sebangsa dan setanah air untuk menciptakan Demokrasi tanpa harus mengorbankan nyawa orang lain atau disebut juga dengan “Demokrasi Tanpa Tumbal”
Justru itu mari kita belajar dari pelaksanaan demokrasi di amerika, maka menghadapi tahun politik 2009 yang sudah didepan mata , dimana bangsa Indonesia akan diperhadapkan pada dua agenda Politik Nasional, yaitu Pemilihan Umum untuk memilih Wakil-wakil Rakyat yang akan duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan baik DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, maka sudah selayaknya kita menunjukkan peningkatan kualitas dalam berdemokrasi. Bangsa ini harus keluar dari culture politik yang tidak kondusif dalam membangun kehidupan demokrasi.
Perilaku-perilaku menyimpang dalam berdemokrasi, seperti saling hujat, perilaku anarki, bentrokan fisik antar pendukung pasangan calon ataupun partai politik, ketidaksiapan dalam menerima hasil proses demokrasi, serta perilaku elit politik yang masih mengedepankan kekuasaan dari pada kepentingan dan harapan masyarakat sebagaimana yang nampak dalam beberapa kasus yang mengemuka pada pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah di Indonesia harus dapat dibawa dalam suasana politik yang lebih elegan dan beradab. Kita harus memahami bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang given, tetapi merupakan hasil dari suatu usaha bersama dari semua komponen masyarakat. Karena itu, demokrasi harus senantiasa diupayakan dan diusahakan dengan senantiasa mengembangkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan politik bangsa.
Dalam konteks inilah, maka pelaksanaan Pemilu tahun 2009 bagi rakyat Indonesia akan menjadi ujian bagi kualitas demokrasi di Negara ini. Karena itu, menjadi kewajiban dari semua elemen bangsa untuk sama-sama memaknai proses demokrasi pada pemilu mendatang dengan perilaku politik yang dewasa dan beradab, baik elit politik, pelaku politik, pelaksana pemilu maupun rakyat pemilih. Seluruh rakyat Indonesia memiliki harapan yang sama bahwa kita ingin proses demokrasi yang akan berlangsung di Negara ini dapat mempertontonkan eksistensi kita sebagai salah satu Negara Demokrasi terbesar di dunia. Amerika sudah memberikan pelajaran bermAkna bagi seluruh dunia tentang indahnya proses demokrasi itu, dan saatnya Indonesia juga membuktikan hal yang sama pada Pemilu 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar