Senin, 09 Februari 2009

Beban pers menghadapi pemilu 2009


Oleh “Hendrianto
peringatan hari pers pada tahun ini yang jatuh pada tanggal 9 februari penulis ingin mengajak saudara semua menyimak kembali isi pidato presiden SBY yang mengatakan dengan tegas komitmen pada demokrasi dan kebebasan pers.Selain menjamin tidak akan ada lagi pembredelan terhadap pers,Presiden SBY juga berjanji membuat pers terus berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya.

Sebagai wujud realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional Tahun 2008 yang lalu, Presiden SBY menyampaikan seandainya diminta memilih untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas Presiden menyatakan akan memilih yang pertama yaitu memberikan kebebasan kepada pers.

Pada tanggal 30 April 2008 lalu, pemerintah telah mengesahkan Undang- Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini akan dapat lebih memberikan jaminan atas keterbukaan informasi sekaligus merupakan penguat kemerdekaan pers sebagaimana amanat Undang- Undang No 40/1999 tentang Pers.

Mekarnya kebebasan pers itu telah kita nikmati.Tak berlebihan apabila kemudianalmarhum Prof AffanGaffar dari UGM dalam pertemuan editor se- Asia Tenggara di Jakarta menyatakan bahwa Indonesia memiliki pers yang paling bebas di Asia Tenggara.

Namun, apakah kebebasan itu ada kemungkinan direnggut kembali? Tentunya kekhawatiran itu tidak perlu ada karena banyak lembaga yang mengawal kemerdekaan pers. Bahkan ada Mahkamah Konstitusi yang menjadi garda pengawal apabila sebuah undang-undang bertentangan dengan amanat UUD 1945 atau mencederai hak konstitusi warga negara. Jadi mengapa kita masih harus curiga?

Akan lebih arif apabila kita memaknai kemerdekaan pers saat ini dengan kemerdekaan pers itu untuk siapa? Tentu jawabannya akan terpulang pada tema Hari Pers Nasional tahun ini yang tengah diusung teman teman media: "kemerdekaan pers dari dan untuk rakyat"

Media elektronik dan cetak begitu banyak. Apalagi saat menjelang perhelatan akbar bangsa Pemilihan Umum (Pemilu), media massa cetak banyak bermunculan meski dengan berbagai motivasi. Regulasi yang membebaskan pertumbuhan tersebut, menjadikan informasi semakin banyak yang menerpa masyarakat.

Di tengah persaingan bisnis media yang seru itulah muncul sejumlah pertanyaan, apakah kemajuan diikuti kualitas isi? Apakah dengan latar belakang bisnis, politik atau memang idealisme murni? Adakah ada penyajian diikuti kualitas isi, fakta, informasi, atau gagasan pengetahuan yang bisa mencerdaskan publik? Pertanyaan ini penting karena sejarah Pers tak lepas dari perjuangan rakyat. Kalau lebih spesifik lagi adalah, sejauh mana peranan Pers dalam mendorong proses demokratisasi, mampukah mengubah perilaku masyarakat guna mendorong, mejadikan bangsa yang beretika dalam penegakan supremasi hukum? Inilah pertanyaan yang pas untuk dijawab,. Konteks pertanyaan tersebut, Pers memang bukan hanya sekadar lembaga ekonomi saja, tetapi menjadi sarana ruang untuk bertukar informasi dan gagasan secara demokratis. Bukankah ‘Berita bukan sekadar untuk dijual, melainkan untuk kepentingan umum

Pemilu legislatif dan DPR, DPRD dan DPD tinggal menghitung hari. Sebagai salah satu proses ‘maunya’ untuk kesejahteraan bangsa, layak kalau kekhawatiran muncul. Bukan hanya KPU yang harus kejar tayang karena banyak pekerjaan, tetapi berbagai survei menyebutkan bahwa banyak masyarakat yang belum tahu soal Pemilu. Itulah sebabnya, Pers kemudian menjadi salah satu tumpuan untuk membantu proses Pemilu yang berkualitas.

Berkualitas dalam proses dan hasilnya. Banyaknya Parpol dan Calon legislatif, sistem yang masih belum final, menjadikan program pencerahan bagi publik juga menjadi salah satu pekerjaan Pers yang harus dilakukan. Meski terjadi tabrakan antara UU Pemilu dan UU mengenai Pers, sehingga masih terjadi proses judicial review di antaranya terhadap pasal sanksi Pers dan kewajiban, yang hingga sekarang belum selesai.

Tetapi proses perjalanan menuju Pemilu terus berjalan. Pemilu kali ini memang berbeda dengan sebelumnya. Bukan hanya jumlah partai politik yang banyak, sehingga banyak yang belum paham mengenai kontestan Pemilu. Belum lagi ditambah keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa suara terbanyak yang bakal dipilih. Padahal jumlah Calon legislatif ribuan belum lagi Dewan Perwakilan Daerah. Jadi wajar kalau rakyat masih gagap ketika masuk bilik pemungutan suara. Jangankan kenal, tahunya pun mungkin hanya dari spanduk, Pers tentu menjadi harapan. Rayuan para Caleg, bisa membuat Pers tergelincir pada sikap tidak lagi independen.

Munculnya media massa yang sengaja memanfaatkan untuk bisnis atau memang sengaja diterbitkan oleh kontestan Pemilu, memang menjadikan masyarakat harus lebih waspada membaca informasi. media, musti menjadi perhatian serius. Dalam situasi semacam itu, tidak mudah media massa melakukan peliputan yang adil dan jujur dari kepentingan politik, karena Pers tidak lepas dari dasar manusia yang subjektif.

Namun demikian di kalangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya sudah mencanangkan Pers harus profesional. Menyuguhkan informasi yang terbaik dan seobjektif mungkin. Apapun alasannya, Pers secara universal harus memberikan kaidah dan standar norma dalam pelaksanaan tugasnya. Pers secara normatif dalam Pemilu mendatang harus tetap independen, bukan sekadar netral saja. Dalam sikap independen terdapat makna tanggung jawab yang bersifat bebas, pro aktif, dinamis dan berpihak pada kepentingan publik sesuai habitatnya. Sementara netral, sering diartikan sebagai abstain, tak berpihak dan pasif. Semua kontestan harus pada parameter yang sama. Artinya, pers bukan menjadi corong kontestan.

Makna dalam sikap independensi inilah terkandung rasa tanggung jawab untuk kepentingan publik pemilih. Dalam UU No 40 tahun 1999 ditegaskan, Pers punya kewajiban menyiarkan semua peristiwa dengan menghormati norma hukum, rasa kesusilaan masyarakat dan azas praduga tak bersalah. Penjabarannya akan sangat signifikan ketika diterapkan dalam peliputan Pemilu mendatang agar tak terjebak pada provokasi pihak tertentu. Media massa harus selalu menaungi kesadaran umum. Bahwa hakikat ketidakberpihakan Pers yang terbaik adalah pengabdian pada publik, adalah dengan mewujudkan sikap independensi. Cara ini yang sebenarnya menjadi jalan terluas bagi media untuk tetap hidup, dipercaya publik dan dihormati sebagai lembaga yang bermartabat. Artinya, semangat itu harus ditopang dengan idealisme dan profesionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar