Sabtu, 24 Januari 2009

Keberadaan Melayu Square dan ocean corner menuai protes


*BOBI MARAH BESAR

Keberadaan Melayu Square sebagai pusat jajanan di Tanjungpinang menuai protes keras dari berbagai LSM.diantara nya LSM KAMI (Komite Amanat Masyarakat Independent) bahkan Direktur Eksekutip KAMI, La ode Kamarudin menilai keberadaan Melayu Square dan Ocean Corner sarat dengan KKN,

“kawasan Melayu square dan Ocean corner tersebut adalah, untuk pasilitas umum apalagi Melayu Square itu di peruntukan untuk jalur hijau yang sama sekali tidak boleh di alih pungsikan penggunaan nya, menurutnya kalau pun itu mau di alih pungsikan harus melalui persetujuan dewan, artinya pihak pemko mengirimkan surat permohonan kepada dewan legislatip untuk penggunaan pasilitas umum tersebut” tegas La ode.

“Sementara yang kita lihat sekarang ini, ada nya ikut campur pihak ketiga (investor swasta) dalam mengelola asset daerah ini, kalau yang sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi, sebab yang mengelola asset daerah kan sudah ada perusda, nah sekarang kenapa kok bisa pihak ketiga mengelolanya tanpa persetujuan Dewan legislatip” ujarnya.

Reaksi keras juga di ucapkan ketua DPRD kota Tanjungpinang, Bobi Jayanto, melihat penomena ini, malahan Bobi kelihatan marah besar, karna selama ini Pemko tidak pernah sama sekali membicarakan atau persentasikan dengan pihak legislative mengenai pemamfaatan Fasilitas umum, aplagi di kontrakan kepada pihak ketiga” tegas bobi.

Selain itu kata Bobi, pemko tidak pernah melaporkan berapa besar sumbangan pihak pengelola termasuk Fsilitas Umum lainya yang ada di tanjungpinang, sementara itu kata ketua Dewan peraih Muri ini, ia menyesalkan tidak di perhatikan nya kebersihan lingkungan termasuk air bersih dan limbah sisa sisa makanan. Dalam hal ini Bobi menilai pihak pengelola hanya mengejar keuntungan saja dari pedagang kaki lima.

Sekali lagi Bobi menegaskan, kalau perlu untuk menunjang usaha pariwisata Pemko harus membangun dengan tatanan khas budaya melayu yang lebih professional, sehingga pendapatan asli daerah meningkat, tutur Bobi.

Pengamatan Koran ini, Melayu square memang telah menjadi sebuah titik keramaian di Tanjungpinang meskipun bentuknya semakin hari semakin tak terurus. Apalagi beberapa tempat berjualan itu yang tadinya merupakan bangunan kayu sekarang sudah berubah menjadi semi permanen.

Sementara itu, direktur eksekutiv KAMI La Ode Kamarudin menilai, penyidik selama ini hanya melihat keberadaan melayu square sebatas pelanggaran perda saja tetapi kalau penyidik betul btul jeli melihat lebih dalam lagi bukan tidak mungkin akan bermuara kepada unsure KKN melihat dari pada prosedur yang dilakukan oleh pihak pemko tidak wajar(hendrianto)

Mahalnya Kursi Legislatif


Oleh: Hendrianto
Hanya tinggal menghitung Hari, pesta demokrasi lima tahunan akan tiba. Sebuah pertarungan besar yang dinanti-nantikan oleh para pendulang simpati rakyat yang ingin disapa sebagai “wakil rakyat” akan tiba dalam hitungan hari. Tidak hanya di pusat, melainkan juga di tingkat propinsi, kabupaten dan kota se-Indonesia, kegitan sejenis bernama Pemilihan Umum atau lebih akrab disebut PEMILU.
Partai politik sebagai satu-satunya perahu yang akan menghantarkan para Caleg menuju singgasana impian nya. Inilah saatnya mereka habis-habisan menabur pesona atau bisa saja di singkat "PURBA"(pura pura baik) di tengah masyarakat khususnya di daerah pemilihan masing-masing. Tak pelak lagi,di setiap jalan di pelosok kota dan di desa, para Caleg pun berlomba-lomba memajang foto diri masing-masing lengkap dengan identitas partai politik dan nomor urut masing-masing.
Banyak yang berubah dalam hal kampanye menjelang Pemilu setelah memasuki era reformasi. Pada dasarnya, kampanye politik adalah sama, yakni berlomba memperebutkan hati rakyat agar mau mendukung dan memilih partai politik yang sedang digunakanya sebagai jembatan menuju gedung dewan yang terhormat itu.
Semenjak berubahnya sistem dari tiga partai menjadi multi partai serta semakin transparannya nama-nama para Caleg membuat metode kampanye semakin berwarna. Pada masa orde baru dengan notabene hanya ada tiga partai sebagai hasil fuse multi partai pada masa orde lama sangat sederhana, di mana partai hanya memajang nama partai dengan nomor urut saja tanpa disebutkan nama Caleg yang akan menggunakan partai yang bersangkutan, baik melalui baliho, atau spanduk.
Tetapi sekarang telah berubah, di mana para Caleg masing-masing melakukan terobosan sendiri dengan cara mencetak foto pribadi disertai nama partai dan nomor urutnya dengan berbagai ukuran, mulai dari ukuran baliho sampai ukuran kartu nama biasa.
Dampak yang timbul dari perubahan sistem sebagaimana dikemukakan di atas adalah di sepanjang jalan jalan utama di kota kota semakin semak dan semerawut dengan berbagai gambar dan foto-foto para Caleg yang berlomba-lomba menjual senyum kepada semua lapisan masyarakat. Sangat sulit mencari pepohonan dan tiang-tiang listrik, telepon, serta tembok yang tidak dijadikan sebagai tempat untuk menempel dan memajang foto dan tanda gambar Pemilu. Bahkan pintu pintu rumah pendudukpun jadi sasaran untuk pemasangan stiker para caleg tersebut.
Kadang kadng kita merasa geli melihat keadaan saat ini. Banyak wajah yang selama ini tidak pernah dikenal bermunculan, jual tampang untuk mensosialisasikan nama mereka kepada publik. Bukan itu saja, berbagai cara pun ditempuh. Salah satu yang paling sering digunakan adalah pemanfaatan simbol-simbol agama yang disertakan pada media yang digunakan oleh para Caleg, Ada juga yang membubuhkan dalil-dalil agama yang dikutip dari kitab suci sebuah agama.
Para Caleg yang muncul di depan publik ini pun tak kalah cerdas dalam memanfaatkan situasi dalam upaya menebar pesona. Mereka menggunakan momen-momen tertentu seperti perayaan natalan dan tahun baru, hari raya idul fitri, gong xi fa cai, bahkan situasi perang pun juga jadi sasran kampanye.
Momen-momen seperti ini untuk menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada umat beragama yang bersangkutan agar terkesan bahwa si Caleg sangat simpatik terhadap orang lain yang berbeda kepercayaan. Sesungguhnya semua itu adalah fair dan baik bila seseorang perduli dengan keberadaan orang lain dalam suka maupun duka. Namun yang menjadi pertanyaan sebenarnya adalah mengapa pada saat menjelang Pemilu baru sosok-sosok yang penuh peduli itu tampil sebagai pribadi-pribadi yang luar biasa dalam hal kesosialan, nasionalisme dan patriotismenya.
Tidaklah mengherankan bila menjelang Pemilu bermunculan dermawan-dermawan dan relawan-relawan dadakan yang tiba-tiba menawarkan budi baik dan perhatian yang sangat besar kepada sekelompok warga masyarakat untuk mengharapkan dukungan politik. Sebenarnya kehadiran para dermawan dadakan ini bisa jadi menguntungkan masyarakat setempat. Pragmatisme para Caleg yang selalu berbuat baik kepada calon masyarakat mereka sesungguhnya adalah menguntungkan masyarakat itu sendiri.
Lihat saja pada bulan rhamadhan yang lalu orang partai politik berlomba-lomba memberikan bungkusan sembako, tentu tak luput juga menyisipi kartu namanya para caleg dalam bungkusan itu. Ini adalah salah satu yang sangat positif bagi masyarakat. Mengenai apakah partai atau Caleg yang bersangkutan akan dipilih oleh masyarakat yang dibantu tersebut, tergantung pada keputusan si pemilih di bilik suara pada Pemilu mendatang.
Namun yang paling ironis dan sangat disesalkan adalah sebagian dari Caleg berperang dengan menampilkan ayat-ayat dari kitab suci dan mengatasnamakan agama hanya untuk maksud agar terpilih pada Pemilu mendatang. Tidak ada salahnya menyampaikan kebenaran isi kitab suci kepada umat beragama, tapi perlu diingat agar tidak usah memperalat agama sebagai jembatan menuju gedung dewan alias kekuasaan.
Sudah banyak terbukti anggota dewan yang pernah berkampanye dengan ayat-ayat suci ternyata mengingkari apa yang disampaikannya di depan konstituennya setelah duduk di kursi empuknya. Teori sering kali berseberangan dengan praktek politik. Itulah apa yang disebut politik, yakni perebutan kekuasaan untuk menjadi salah seorang dari pengambil kebijakan dalam berbangsa dan bernegara.
Seseorang yang memiliki niat ikhlas sebelum duduk dalam suatu jabatan pun sering menodai niat sucinya manakala dia telah memangku jabatan, apalagi seseorang yang memang telah menyembunyikan niat buruk di balik sebuah rencana perebutan kekuasaan, tentu lebih buruk dari orang yang pada mulanya berniat lurus
Persaingan berebut jabatan dengan ongkos uang dan moral yang teramat mahal. Awalnya kita sulit percaya bahwa untuk menjadi anggota legislative mesti mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah bahkan mencapai milyaran rupiah untuk menuju kekursi paling mahal di dunia tersebut
Meski kita tak percaya, lama-lama pendirian itu goyah juga setelah mendengar informasi dari sekian banyak sumber bahwa untuk memperoleh tiket dari partai politik (parpol) pendukung serta membujuk calon pemilih memang harus mengeluarkan dana berjumlah sangat fantastis.
Kalau pemasukan bersih dari gaji DPRD sekitar 20 juta per bulan dan seseorang menjabat hanya lima tahun, berarti pemasukan resmi selama menjabat hanya sebesar Rp1,2 milyar. Jadi, pertanyaan awam yang muncul, sepantas nya mereka mau mengeluarkan uang sebanyak itu selama kampanye? dan bagaimana cara pengembalian dana yang telah dikeluarkan itu? Atau, adakah mereka itu memang pejuang sekaligus dermawan yang menginginkan jabatan untuk memajukan rakyat?
Tetapi yang jelas para pemburu kekuasaan itu mau tak mau harus bersiap dengan kantong tebal, kalau dirinya tidak mau berjuang hanya untuk kalah. Itu hanya dalam konteks demokrasi yang salah
Kalau saja prinsip-prinsip demokrasi dilaksanakan konsekuen, dengan mengindahkan moralitas dan gagasan cerdas yang ditawarkan pada rakyat sebagaimana Barack Obama, pemilihan kepala daerah sebagai salah satu perwujudan demokrasi akan memberi harapan perbaikan bagi masa depan bangsa.
Lewat proses demokrasi akan terjadi seleksi putra-putri bangsa terbaik untuk membangun bangsa ini. Pada kenyataannya yang menang bukan moralitas dan gagasan serta program yang jelas dan cerdas,melainkan siapa yang punya sumber dana besar yang akan menang. Pemilihan kepala daerah berubah seperti pasar, seseorang dihargai karena duitnya. Dengan uang itu tim sukses bergerilya dan kasak-kusuk membeli dan membagi uang untuk mendapatkan dukungan.
Kejadian ini sungguh menyedihkan, semakin memperparah praktik korupsi dan kolusi yang hendak diberantas oleh cita-cita reformasi.Terlebih ketika virus uang untuk membeli dukungan ini telah masuk ke wilayah dunia pesantren dan pendidikan. Karena kiai dan tokoh agama memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat, maka bujukan dan rayuan disertai sejumlah uang dan kendaraan mengkilat dialamatkan pada mereka ini.
Maka, tidak mengherankan banyak mantan gubernur, bupati atau wali kota, serta DPR yang terjaring KPK lalu masuk tahanan karena terbukti korupsi. Mereka mesti membayar semua modal yang telah dikeluarkan, yang jumlahnya jauh melebihi penghasilan resminya dengan jalan korupsi.
Baru saja kita dengar melalui media cetak dan elektronik beberapa hari yang lalu pengadilan negri tanjungpinang, mengadili tersangka bendahara DPRD kota tanjungpinang, Adi Purwanto karna menyangkut kasus pinjaman 24 orang anggota legislatif yang di ambil dari khas daerah pada tahun 2006 yang lalu tujuh ratus juta lebih.
Dari cuplikan kasus diatas dapat diambil sebuah kesimpulan betapa giatnya para anggota legislatif ini meburu pulus, walaupun itu byukan hak nya, tetapi yang terpints di benak mereka adalah bagaimana menyiasati pemilu yang akan datang supaya bisa mendulang sura yang sebanyak banyak berkat politik uang tersebut.
Bahwa kampanye memerlukan dana itu sudah pasti. Terutama untuk biaya perjalanan, pasang iklan, cetak brosur, sablon kaos, ongkos penyelenggaraan forum forum pertemuan dan sejenisnya. Tetapi ketika uang dibelanjakan untuk dibagi bagi semata demi membeli suara, maka yang akan menjadi pemenang bukannya gagasan dan integritas, melainkan uang.
Di sini hukum pasar berlaku, siapa berduit banyak, dia yang memiliki daya tawar tinggi.Rakyat bukannya memilih pemimpin, tetapi menggadaikan nalar sehatnya ditukar dengan uang. Belum lagi ekses konflik dan perseteruan antarpara pendukung para calon. Kalau kondisi ini berjalan terus,maka semakin sempurnalah kehancuran bangsa ini, baik oleh tangan luar maupun oleh putra-putra bangsa sendiri.
Begitu mahalnya sebuah jabatan,namun juga betapa busuk baunya.Orang mendaki jabatan yang begitu tinggi dan terjal hanya untuk mencari tempat jatuh yang juga tinggi dan amat menyakitkan.

Jumat, 23 Januari 2009

aSAL MUAASAL NAMA INDONESIA


oleh:Hendrianto

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna Politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Sabtu, 10 Januari 2009

Batangkoban hulukuantan


“Air Terjun Tujuh Tingkat Batang Koban” Lubuk Ambacang terletak di Kecamatan Hulu Kuantan 37 Km dari Teluk Kuantan. Ketika berada di Lubuk Jambi ibukota Kecamatan Kuantan Mudik (22 Km dari Teluk Kuantan) bus anda akan bergerak menuju arah Kiliran Jao dan selepas Kota Lubuk Jambi bertemu dengan persimpangan satu simpang ke kiri arah Kiliran Jao, disitulah tadi letaknya Terjun Guruh. Jika dari simpang selepas Lubuk Jambi, bus kita akan bergerak ke kanan terus sampai sejauh 11 Km akan sampai ke Kota Lubuk Ambacang Ibukota Kecamatan Hulu Kuantan. Dengan menaiki sampan bermesin (pompong) sejauh 4 Km anda akan melaluinya dengan kenyamanan arus sungai kadangkala tenang dan sunyi kadangkala ribut dengan gelombang arung jeramnya dilengkapi dengan pemandangan alam dan bukit-bukit yang terjal dengan hutan lindungnya yang masih asli. Dalam perjalanan kita dapat menyaksikan binatang kera, berbagai jenis burung dan binatang lainnya seakan menyapa bagi pengunjungnya. Akhirnya sampailah ke lokasi Air Terjun “Tujuh Tingkat Batang koban”. Tujuh Tingkat maksudnya terdapat tujuh buah air terjun yang bertingkat, akhirnya sampai ke dasar sungai dan terus mengalir ke Sungai Kuantan yang mengairi sebagian besar daerah Kuantan Singingi.(hendrianto)

Minggu, 04 Januari 2009

ROKOK SANGAT BERBAHAYA BAGI GUSI

SIAPA pun yang membeli satu bungkus rokok, pasti akan mengetahui kalau pada bungkusan rokok tersebut terdapat peringatan tentang bahaya merokok.

Walau bagaimanapun, peringatan itu cenderung diabaikan oleh perokok berat. Mereka masih saja mengisap nikotin itu dengan nikmatnya. Padahal, bagaimanapun merokok bisa menyebabkan kanker paru, kanker ginjal, hingga serangan jantung.

Selain penyakit-penyakit seperti kanker paru dan kanker ginjal, rokok yang diisap ternyata juga sangat berpotensi merusak gusi yang sehat. Bahkan peluang mendapatkan penyakit periodontal (gusi) pada orang perokok berat disebabkan oleh merokok. Kehilangan gigi juga dapat diawali karena adanya penyakit gusi yang kronik atau dalam jangka waktu yang lama.

"Penelitian telah menemukan bahwa penggunaan tembakau bisa menjadi salah satu faktor risiko terbesar dalam pertumbuhan penyakit periodontal," kata guru besar di Universitas Pengobatan Kedokteran Gigi Columbia, David A Albert DDS MPH Dr Albert.

Penyakit periodontal (gusi) merupakan penyakit yang disebabkan adanya infeksi dari bakteri. Bakteri ini merusak jaringan yang lembut dan keras yaitu dari pulpa gigi sampai ke tulang rahang. Bakteri awalnya tumbuh pada plak gigi yang tumbuh di sekeliling gusi atau dikenal dengan poket gusi sekitar gigi. Pada tahap awal dari penyakit ini, banyak orang mungkin sadar bahwa gusi berdarah ketika menyikat gigi dan pemakaian dental floss.

Sebagai gangguan dari infeksi, gusi mulai bertambah buruk. Bakteri ini bergerak dari gigi membentuk poket. Kemudian poket yang berada di antara gigi dan gusi merusak bagian jaringan pendukung gigi. pada akhirnya, gigi Anda akan sakit atau bisa juga lepas.

Penelitian telah menunjukkan bahwa perokok mempunyai lebih banyak kalkulus (tartar) dibandingkan dengan orang yang bukan perokok. Ini mungkin hasil dari penurunan aliran saliva (air liur). Kalkulus adalah bentuk yang lebih keras dari plak. Produk rokok tembakau dapat menyebabkan penyakit periodontal menjadi buruk dengan cepat.

Perokok lebih banyak mengalami kerusakan tulang yang besar dan poket lebih dalam di antara gigi dan gusi dibandingkan bukan perokok. Dalam penelitian, perokok mempunyai 3¢€"5 kali lebih besar kesempatan mempunyai kerusakan pada gusi dibandingkan yang bukan perokok.

Dan kehilangan banyak tulang 5 kali lebih besar antara perokok berat yang aktif dan yang sudah pasif (dahulu) dibandingkan yang tidak pernah sama sekali. "Banyak hal bisa dilakukan untuk menjaga mulut, misalnya dengan mengonsumsi buah, rajin menggosok gigi dan tentu saja dengan hidup tanpa nikotin," terang Albert.