Kamis, 29 April 2010

makam Mbah Priok menyisahkan misteri

Amuk massa, dipandang sejumlah pihak sebagai representasi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap penguasa, baik di level pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Dalam banyak kasus, aparat kepolisian ataupun Satpol PP dinilai lebih sering menjadi “alat penguasa”.

Bentrok berdarah antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan masyarakat di komplek makam Al Arif Billah Hasan bin Muhammad Al Haddad (Mbah Priuk), masih menyisakan misteri.

Klaim Kepala Satpol PP DKI, Harianto Badjoeri, yang menyatakan bahwa “penertiban” makam Mbah Priok dilakukan setelah mendapat informasi dari intelijen Kodim Jakarta Utara, menjadi persoalan sendiri. Apalagi menurut Harianto, komunikasi koordinasi Satpol PP dengan “Balaikota DKI” terputus setelah sinyal telepon dan radio HT diacak. Akibatnya, perintah penarikan pasukan dari Balaikota DKI tidak dapat langsung dilakukan.

Di satu sisi, klaim Kepala Satpol PP non aktif itu bisa jadi merupakan satu pembelaan bahwa, bentrok berdarah terjadi di luar kontrol “komandan lapangan”. Demikian juga, petinggi Pemkot Jakarta Utara ataupun Pemda DKI, berharap muncul satu persepsi di mana bentrok berdarah itu di luar perhitungan.

Namun di sisi lain, beredar kabar bahwa Satpol PP memang ditarget dapat menguasai lahan makam seluas 5,4 hektare itu. Satpol PP mendapat gelontoran dana Rp 11 miliar dari PT Pelindo II untuk membongkar gapura dan pendopo makam yang terletak di Koja, Jakarta Utara itu.Sinyalemen ini sempat dibantah Dirut PT Pelindo II, RJ Lino.

Jika benar adanya aliran dana tersebut, tak bisa disangkal bahwa aksi Satpol PP dilatarbelakangi kepentingan bisnis pihak tertentu. Pengamat intelijen, Herman Y Ibrahim menyatakan, pembongkaran makam Mbah Priok atas rekomendasi Coast Guard AS terkait standarisasi pelabuhan bagi perdagangan bebas yang berbau neolib.

Terlepas dari misteri yang masih menyelimuti kasus priuk, amuk massa, dalam beberapa waktu terakhir ini menjadi fenomena yang mengemuka kembali di Indonesia. Beberapa yang cukup menyita perhatian publik dalam satu tahun terakhir, misalnya, bentrok mahasiswa dengan aparat terkait kasus Century, penyerangan kantor kepolisian di Makasar oleh anggota HMI setempat, penyerangan warga terhadap aparat kepolisian di NTB, bentrok warga (pendukung) terkait persaingan dalam pilkada, dan potensi aksi radikal kelompok buruh seiring AC-FTA.

Disadari ataupun tidak disadari, amuk massa adalah fenomena perlawanan masyarakat terhadap fungsi aparatur negara. Ada banyak motif di dalamnya, bisa ideologis, ekonomi maupun politik. Tergantung siapa yang bermain dan memainkan. Kondisi ini berkembang kembali, tidak terlepas juga dari adanya kebijakan-kebijakan penguasa yang dipandang oleh sebagian masyarakat tidak memenuhi rasa keadilan.

Jika berbagai kepentingan masih berkelindan dan penguasa tidak segera memberikan kebijakan yang lebih menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat, maka potensi amuk massa akan meluas. Amuk massa akan menggoyang penguasa