Sabtu, 24 Januari 2009

Mahalnya Kursi Legislatif


Oleh: Hendrianto
Hanya tinggal menghitung Hari, pesta demokrasi lima tahunan akan tiba. Sebuah pertarungan besar yang dinanti-nantikan oleh para pendulang simpati rakyat yang ingin disapa sebagai “wakil rakyat” akan tiba dalam hitungan hari. Tidak hanya di pusat, melainkan juga di tingkat propinsi, kabupaten dan kota se-Indonesia, kegitan sejenis bernama Pemilihan Umum atau lebih akrab disebut PEMILU.
Partai politik sebagai satu-satunya perahu yang akan menghantarkan para Caleg menuju singgasana impian nya. Inilah saatnya mereka habis-habisan menabur pesona atau bisa saja di singkat "PURBA"(pura pura baik) di tengah masyarakat khususnya di daerah pemilihan masing-masing. Tak pelak lagi,di setiap jalan di pelosok kota dan di desa, para Caleg pun berlomba-lomba memajang foto diri masing-masing lengkap dengan identitas partai politik dan nomor urut masing-masing.
Banyak yang berubah dalam hal kampanye menjelang Pemilu setelah memasuki era reformasi. Pada dasarnya, kampanye politik adalah sama, yakni berlomba memperebutkan hati rakyat agar mau mendukung dan memilih partai politik yang sedang digunakanya sebagai jembatan menuju gedung dewan yang terhormat itu.
Semenjak berubahnya sistem dari tiga partai menjadi multi partai serta semakin transparannya nama-nama para Caleg membuat metode kampanye semakin berwarna. Pada masa orde baru dengan notabene hanya ada tiga partai sebagai hasil fuse multi partai pada masa orde lama sangat sederhana, di mana partai hanya memajang nama partai dengan nomor urut saja tanpa disebutkan nama Caleg yang akan menggunakan partai yang bersangkutan, baik melalui baliho, atau spanduk.
Tetapi sekarang telah berubah, di mana para Caleg masing-masing melakukan terobosan sendiri dengan cara mencetak foto pribadi disertai nama partai dan nomor urutnya dengan berbagai ukuran, mulai dari ukuran baliho sampai ukuran kartu nama biasa.
Dampak yang timbul dari perubahan sistem sebagaimana dikemukakan di atas adalah di sepanjang jalan jalan utama di kota kota semakin semak dan semerawut dengan berbagai gambar dan foto-foto para Caleg yang berlomba-lomba menjual senyum kepada semua lapisan masyarakat. Sangat sulit mencari pepohonan dan tiang-tiang listrik, telepon, serta tembok yang tidak dijadikan sebagai tempat untuk menempel dan memajang foto dan tanda gambar Pemilu. Bahkan pintu pintu rumah pendudukpun jadi sasaran untuk pemasangan stiker para caleg tersebut.
Kadang kadng kita merasa geli melihat keadaan saat ini. Banyak wajah yang selama ini tidak pernah dikenal bermunculan, jual tampang untuk mensosialisasikan nama mereka kepada publik. Bukan itu saja, berbagai cara pun ditempuh. Salah satu yang paling sering digunakan adalah pemanfaatan simbol-simbol agama yang disertakan pada media yang digunakan oleh para Caleg, Ada juga yang membubuhkan dalil-dalil agama yang dikutip dari kitab suci sebuah agama.
Para Caleg yang muncul di depan publik ini pun tak kalah cerdas dalam memanfaatkan situasi dalam upaya menebar pesona. Mereka menggunakan momen-momen tertentu seperti perayaan natalan dan tahun baru, hari raya idul fitri, gong xi fa cai, bahkan situasi perang pun juga jadi sasran kampanye.
Momen-momen seperti ini untuk menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada umat beragama yang bersangkutan agar terkesan bahwa si Caleg sangat simpatik terhadap orang lain yang berbeda kepercayaan. Sesungguhnya semua itu adalah fair dan baik bila seseorang perduli dengan keberadaan orang lain dalam suka maupun duka. Namun yang menjadi pertanyaan sebenarnya adalah mengapa pada saat menjelang Pemilu baru sosok-sosok yang penuh peduli itu tampil sebagai pribadi-pribadi yang luar biasa dalam hal kesosialan, nasionalisme dan patriotismenya.
Tidaklah mengherankan bila menjelang Pemilu bermunculan dermawan-dermawan dan relawan-relawan dadakan yang tiba-tiba menawarkan budi baik dan perhatian yang sangat besar kepada sekelompok warga masyarakat untuk mengharapkan dukungan politik. Sebenarnya kehadiran para dermawan dadakan ini bisa jadi menguntungkan masyarakat setempat. Pragmatisme para Caleg yang selalu berbuat baik kepada calon masyarakat mereka sesungguhnya adalah menguntungkan masyarakat itu sendiri.
Lihat saja pada bulan rhamadhan yang lalu orang partai politik berlomba-lomba memberikan bungkusan sembako, tentu tak luput juga menyisipi kartu namanya para caleg dalam bungkusan itu. Ini adalah salah satu yang sangat positif bagi masyarakat. Mengenai apakah partai atau Caleg yang bersangkutan akan dipilih oleh masyarakat yang dibantu tersebut, tergantung pada keputusan si pemilih di bilik suara pada Pemilu mendatang.
Namun yang paling ironis dan sangat disesalkan adalah sebagian dari Caleg berperang dengan menampilkan ayat-ayat dari kitab suci dan mengatasnamakan agama hanya untuk maksud agar terpilih pada Pemilu mendatang. Tidak ada salahnya menyampaikan kebenaran isi kitab suci kepada umat beragama, tapi perlu diingat agar tidak usah memperalat agama sebagai jembatan menuju gedung dewan alias kekuasaan.
Sudah banyak terbukti anggota dewan yang pernah berkampanye dengan ayat-ayat suci ternyata mengingkari apa yang disampaikannya di depan konstituennya setelah duduk di kursi empuknya. Teori sering kali berseberangan dengan praktek politik. Itulah apa yang disebut politik, yakni perebutan kekuasaan untuk menjadi salah seorang dari pengambil kebijakan dalam berbangsa dan bernegara.
Seseorang yang memiliki niat ikhlas sebelum duduk dalam suatu jabatan pun sering menodai niat sucinya manakala dia telah memangku jabatan, apalagi seseorang yang memang telah menyembunyikan niat buruk di balik sebuah rencana perebutan kekuasaan, tentu lebih buruk dari orang yang pada mulanya berniat lurus
Persaingan berebut jabatan dengan ongkos uang dan moral yang teramat mahal. Awalnya kita sulit percaya bahwa untuk menjadi anggota legislative mesti mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah bahkan mencapai milyaran rupiah untuk menuju kekursi paling mahal di dunia tersebut
Meski kita tak percaya, lama-lama pendirian itu goyah juga setelah mendengar informasi dari sekian banyak sumber bahwa untuk memperoleh tiket dari partai politik (parpol) pendukung serta membujuk calon pemilih memang harus mengeluarkan dana berjumlah sangat fantastis.
Kalau pemasukan bersih dari gaji DPRD sekitar 20 juta per bulan dan seseorang menjabat hanya lima tahun, berarti pemasukan resmi selama menjabat hanya sebesar Rp1,2 milyar. Jadi, pertanyaan awam yang muncul, sepantas nya mereka mau mengeluarkan uang sebanyak itu selama kampanye? dan bagaimana cara pengembalian dana yang telah dikeluarkan itu? Atau, adakah mereka itu memang pejuang sekaligus dermawan yang menginginkan jabatan untuk memajukan rakyat?
Tetapi yang jelas para pemburu kekuasaan itu mau tak mau harus bersiap dengan kantong tebal, kalau dirinya tidak mau berjuang hanya untuk kalah. Itu hanya dalam konteks demokrasi yang salah
Kalau saja prinsip-prinsip demokrasi dilaksanakan konsekuen, dengan mengindahkan moralitas dan gagasan cerdas yang ditawarkan pada rakyat sebagaimana Barack Obama, pemilihan kepala daerah sebagai salah satu perwujudan demokrasi akan memberi harapan perbaikan bagi masa depan bangsa.
Lewat proses demokrasi akan terjadi seleksi putra-putri bangsa terbaik untuk membangun bangsa ini. Pada kenyataannya yang menang bukan moralitas dan gagasan serta program yang jelas dan cerdas,melainkan siapa yang punya sumber dana besar yang akan menang. Pemilihan kepala daerah berubah seperti pasar, seseorang dihargai karena duitnya. Dengan uang itu tim sukses bergerilya dan kasak-kusuk membeli dan membagi uang untuk mendapatkan dukungan.
Kejadian ini sungguh menyedihkan, semakin memperparah praktik korupsi dan kolusi yang hendak diberantas oleh cita-cita reformasi.Terlebih ketika virus uang untuk membeli dukungan ini telah masuk ke wilayah dunia pesantren dan pendidikan. Karena kiai dan tokoh agama memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat, maka bujukan dan rayuan disertai sejumlah uang dan kendaraan mengkilat dialamatkan pada mereka ini.
Maka, tidak mengherankan banyak mantan gubernur, bupati atau wali kota, serta DPR yang terjaring KPK lalu masuk tahanan karena terbukti korupsi. Mereka mesti membayar semua modal yang telah dikeluarkan, yang jumlahnya jauh melebihi penghasilan resminya dengan jalan korupsi.
Baru saja kita dengar melalui media cetak dan elektronik beberapa hari yang lalu pengadilan negri tanjungpinang, mengadili tersangka bendahara DPRD kota tanjungpinang, Adi Purwanto karna menyangkut kasus pinjaman 24 orang anggota legislatif yang di ambil dari khas daerah pada tahun 2006 yang lalu tujuh ratus juta lebih.
Dari cuplikan kasus diatas dapat diambil sebuah kesimpulan betapa giatnya para anggota legislatif ini meburu pulus, walaupun itu byukan hak nya, tetapi yang terpints di benak mereka adalah bagaimana menyiasati pemilu yang akan datang supaya bisa mendulang sura yang sebanyak banyak berkat politik uang tersebut.
Bahwa kampanye memerlukan dana itu sudah pasti. Terutama untuk biaya perjalanan, pasang iklan, cetak brosur, sablon kaos, ongkos penyelenggaraan forum forum pertemuan dan sejenisnya. Tetapi ketika uang dibelanjakan untuk dibagi bagi semata demi membeli suara, maka yang akan menjadi pemenang bukannya gagasan dan integritas, melainkan uang.
Di sini hukum pasar berlaku, siapa berduit banyak, dia yang memiliki daya tawar tinggi.Rakyat bukannya memilih pemimpin, tetapi menggadaikan nalar sehatnya ditukar dengan uang. Belum lagi ekses konflik dan perseteruan antarpara pendukung para calon. Kalau kondisi ini berjalan terus,maka semakin sempurnalah kehancuran bangsa ini, baik oleh tangan luar maupun oleh putra-putra bangsa sendiri.
Begitu mahalnya sebuah jabatan,namun juga betapa busuk baunya.Orang mendaki jabatan yang begitu tinggi dan terjal hanya untuk mencari tempat jatuh yang juga tinggi dan amat menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar